Ketika Sirine Bencana Mengoyak Sunyi di Rumah Sakit Eka Candrarini
Kabar Surabaya - Sabtu pagi yang tenang di Surabaya mendadak pecah. Sirine meraung panjang, tajam, menggema hingga ke setiap sudut Rumah Sakit Eka Candrarini. Udara yang semula lembut berubah tegang. Detik itu juga, ketenangan berubah menjadi kesiapan. Bukan karena bencana sungguhan, melainkan sebuah simulasi—namun atmosfernya tak kalah mencekam dari kejadian nyata.
Itu adalah bagian dari pelatihan kesiapsiagaan bencana yang digelar Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 2025. Tapi jangan salah—meski ini hanya latihan, denyutnya terasa nyata. Sangat nyata.
Begitu suara sirine memecah udara, para tenaga kesehatan, dokter, perawat, hingga petugas administrasi rumah sakit langsung bergerak seperti pasukan yang telah lama dilatih menghadapi perang. Wajah-wajah serius, tangan-tangan cekatan. Protokol dijalankan nyaris tanpa cela. Tak ada kepanikan—hanya ketelitian yang lahir dari kesadaran akan pentingnya setiap detik.
Di halaman depan, tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surabaya sudah siaga. Mereka datang bukan hanya dengan perlengkapan penyelamatan, tapi juga skenario lengkap: korban luka, area terdampak, hingga limbah berbahaya. Semua harus ditangani. Semua harus tertangani. Triase dilakukan—keputusan hidup dan mati dalam hitungan menit. Siapa yang harus diselamatkan lebih dulu? Siapa yang harus menunggu?
Di kejauhan, Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, berdiri tegak mengamati. Di balik ekspresi tenangnya, terpancar kelegaan dan kebanggaan. “Kalau bencana terjadi, rumah sakit seperti inilah yang menjadi benteng terakhir. Maka, kesiapan mereka bukan pilihan, tapi keharusan,” katanya. Kalimatnya sederhana, tapi nadanya berat—penuh tanggung jawab.
Sementara itu, Kepala BPBD Surabaya, Agus Heby Djuniantoro, menjelaskan bahwa ini lebih dari sekadar latihan tahunan. Ini adalah panggilan moral. “Kami mensimulasikan gempa, kebakaran, cuaca ekstrem, bahkan insiden limbah B3. Karena bencana bisa datang dalam berbagai rupa—dan kami harus siap untuk semuanya,” ujarnya, tegas.
Namun simulasi ini bukan hanya milik para petugas. Pesannya untuk semua: warga Surabaya, keluarga, komunitas. Karena kesiapsiagaan bukan monopoli instansi, tapi milik bersama. Agus menegaskan, BPBD tengah membentuk Tim Tangguh Bencana di setiap kelurahan. Agar tak ada satu pun warga yang merasa asing saat bencana datang. Karena saat itu tiba, keterlambatan adalah kemewahan yang tak bisa dibeli.
/div>
Ia tahu, rumah sakit bukan hanya tempat menyembuhkan, tapi juga tempat bertahan. Tempat di mana nyawa bergantung pada ketepatan waktu dan kejelian tindakan.
Hari itu, sirine berhenti. Tapi gema pelatihannya tak akan lenyap. Ia akan terus hidup—di dalam benak, dalam prosedur, dalam hati semua yang hadir. Karena kesiapsiagaan bukan peristiwa, tapi proses. Dan Surabaya telah memilih untuk berjalan di jalur itu: membangun kota yang tak hanya kuat, tapi tangguh menghadapi bencana.
No comments:
Post a Comment